/*.......... PERCOBAAN......................*/ /*........ PERCOBAAN......................*/

Pesan Nikah

Menikah merupakan anjuran dan salah satu sunah Nabi Muhammad yang boleh kita ikuti. "an-nikahu sunnatuii.. fa man rhagiba 'an sunnati fa laisa minni" nikah itu sunnahku [Muhamad] siapa saja membenci sunnahku maka ia bukan golonganku. Begitulah sabda nabi tentang pentingnya peleburan menjadi satu antara dua jenis manusia yang berbeda sehingga menghasilakn berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. 

Menikah adalah implementasi dari konsep li at-taarafu. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran diperintahkan bahwa manusia harus saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Buah dari perkenalan itu adalah komunikasi, dari komunikasi inilah akhirnya menjadi satu ikatan, komitmen, kecocokan dan berakhir pada pelaminan.

Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang diatur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.

Menurut ahli tafsir Quraisy Syihab Al-Qur’an menggunakan kata "nikah"  yang mempunyai makna "perkawinan", disamping secara majazi (metaphoric) diartikan dengan"hubungan seks". Selain itu juga menggunakan kata dari asal kata, yang berarti "pasangan" untuk makna nikah. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.

PERNIKAHAN                                            

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah"  sebagai (1)  perjanjian  antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi);  (2)  perkawinan.  Al-Quran  menggunakan kata  ini  untuk  makna  tersebut,  di  samping  secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini  dalam  berbagai bentuknya  ditemukan  sebanyak  23  kali.  Secara  bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja  dan  kata  zauwj  yang berarti  "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.  Kata  tersebut  dalam berbagai  bentuk  dan  maknanya  terulang tidak kurang dari 80 kali.

Secara umum Al-Quran hanya  menggunakan  dua  kata  ini  untuk menggambarkan  terjalinnya  hubungan  suami  istri secara sah. Memang  ada  juga  kata  wahabat  (yang   berarti   "memberi") digunakan  oleh  Al-Quran  untuk melukiskan kedatangan seorang wanita  kepada  Nabi  Saw.,  dan  menyerahkan  dirinya   untuk dijadikan  istri.  Tetapi  agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata  ini,  mempunyai  implikasi  hukum  dalam  kaitannya dengan  ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan  ketetapan Ilahi   atas   segala   makhluk.  Berulang-ulang  hakikat  ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

    Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:49).
  
    Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).


BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan  merupakan  fitrah  sebelum  dewasa,  dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama  mensyariatkan  dijalinnya  pertemuan  antara  pria  dan wanita,   dan  kemudian  mengarahkan  pertemuan  itu  sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria  dan wanita   menjadi   ketenteraman  atau  sakinah  dalam  istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21.

Sakinah  terambil  dari  akar kata   sakana  yang  berarti  diam/tenangnya  sesuatu  setelah bergejolak.  Itulah  sebabnya  mengapa  pisau  dinamai  sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya  ia  meronta.  Sakinah --karena  perkawinan--  adalah  ketenangan  yang  dinamis  dan aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan  perlunya kesiapan  fisik,  mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang  ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon  menantu)  miskin,  maka  Allah  akan  menjadikan mereka  kaya  (berkecukupan)  berkat  anugerah-Nya" (QS An-Nur [24]: 31). Yang tidak memiliki  kemampuan  ekonomi  dianjurkan untuk  menahan  diri  dan  memelihara  kesuciannya  "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin)  menahan  diri,  hingga  Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33)

Di  sisi  lain  perlu  juga  dicatat,  bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau  kawin  merupakan  ketetapan Ilahi  bagi  makhluk-Nya,  dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan   Sunnah   menetapkan   ketentuan-ketentuan  yang  harus diindahkan --lebih-lebih  karena  masyarakat  yang  ditemuinya melakukan  praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai  kemanusiaan,  seperti  misalnya  mewarisi  secara paksa  istri  mendiang  ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19).

Bahkan menurut Al-Qurthubi  ketika  larangan  di  atas  turun, masih  ada  yang  mengawini  mereka  atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat  Al-Nisa'  [4]:  22  yang  secara tegas menyatakan.

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu (dimaafkan oleh Allah).

Imam  Bukhari  meriwayatkan  melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa pada masa Jahiliah, dikenal empat macam  pernikahan.  Pertama, pernikahan  sebagaimana  berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah   seorang  suami  yang  memerintahkan  kepada  istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan  seks) dengan  seseorang,  dan  bila  ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat  keturunan yang  baik.

Ketiga,  sekelompok  lelaki  kurang  dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia  hamil kemudian  melahirkan,  ia  memanggil  seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat  absen--  kemudian  ia  menunjuk  salah seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan  yang  bersangkutan  tidak  boleh mengelak.  Keempat,  hubungan  seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau  tanda  di  pintu-pintu kediaman  mereka  dan  "bercampur"  dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian  Islam  datang  melarang  cara  perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.

sumber :
silakan klik disini, disini juga dan disini juga

Share this post :

+ komentar + 1 komentar

26 November 2015 pukul 04.46

nice info bos, mantap artikelnya

souvenir murah

Posting Komentar

Lowongan Kerja & Info Lomba

Popular Post

Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. el_munsih678 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Editing by Amir Hamzah
Proudly powered by Blogger